Hampir dua jam. Aku duduk di bangku taman segi panjang yang hanya
terbuat dari semen di samping pohon Akasia. Menunggu. Berharap seseorang
yang ku puja itu datang menemuiku disini, seperti janjinya.
Udara kering mulai menggerogoti jalan, sementara kegelisahan mulai
meyerangku. Aku harus mengambil nafas berulang kali agar aku bisa tenang
dan mengambil kesejukan dari pohon Akasia.
Aku beranjak dari tempat duduk segi panjang. Lalu berjalan menuju kolam
ikan. Airnya yang jernih memperlihatkan lumut-lumut hijau yang tumbuh di
sisi dan dasar kolam. Hijau lumut-nya begitu cerah. Tampak lumut-lumut
hijau itu sangat senang bisa hidup bersama dengan ikan-ikan mas. Ikan
mas oranye mengatup-ngatupkan mulutnya dengan sangat lucu.
Langit sudah menjadi kuning keemasan. Dan hawa panas mulai mereda. Aku
terduduk sendiri di ayunan merah. Mengayunkannya perlahan-lahan sambil
memandang kosong ke arah kolam ikan di samping ayunan. Sampai kapan aku
harus menunggu?
“Sangat berbahaya duduk sendiri di taman sepi seperti ini, Nona!” suara
lembut dengan nada khawatir, menyadarkanku dari pandangan kosong.
“Sekarang sedang maraknya penculikan, kau tahu?” tambahnya. Ia tersenyum
bergurau.
Ia duduk di ayunan hijau di samping tempatku. Wajahnya cerah, hidung
mencuat, alis tebal, dan binar matanya teduh. Rambut panjang sebahunya
mengikuti irama ayunannya. Bergoyang-goyang ke depan ke belakang.
“Darimana kau tahu aku disini?” tanyaku. Ada secercah gairah di hatiku
saat ia datang. Rasanya seperti menyelam ke air sejuk saat berada di
siang hari yang kering kerontang.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu. Dan itu membuat kakiku
sangat ingin kesini,” jawabnya. Kemudian, ia mengayunkan ayunannya lebih
kencang. Rambutnya menari-nari tertiup angin.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawabannya. Dan mengayunkan diri ke
depan ke belakang perlahan-lahan. Aku tak semangat mengayun sama sekali.
“Pulanglah,” ia berkata. Wajahnya sudah berada di sampingku. Ayunannya
sudah hampir berhenti. Aku hanya diam. Seluruh tubuhku menolak untuk
beranjak dari tempat ini. Terutama hatiku yang masih ingin menunggunya.
“Senja hampir habis. Pulanglah, Nona!” pintanya. Suaranya yang lembut
itu membuat tubuhku tersadar. Pegal sekali sudah menunggu hampir tiga
jam.
Aku memaksa tubuhku bangkit dari ayunan. Tetapi sulit sekali mengajak
hatiku beranjak. Kemudian setelah menyadari hari hampir gelap dan taman
ini sepi sekali, hatiku mau juga diajak pulang.
“Er … Happy Birth Day!” katanya. Ada keraguan dari nada suaranya. Tangan
kanannya menyodorkan sekotak kado berlapis kertas merah marun dan pita
emas.
“Hei, darimana kau tahu aku ulang tahun hari ini?” tanyaku sambil tersenyum kaget.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu,” jawabnya sambil terkekeh.
Kemudian, ia berlalu. Berjalan dengan langkah yang dihentakkan walau pun
hanya memakai sandal dan celana pendek putih biru.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Hari berikutnya. Malam dengan udara sejuk. Bintang-bintang
berkelap-kelip genit di langit yang cerah. Malam yang sangat cerah.
Banyak bintang-bintang bertebaran. Mereka membentuk sebuah konstelasi.
Aku tidak tahu nama mereka, tapi aku tahu cara mengaguminya. Dan angin
membawa serbuk-serbuk kebahagiaan pada diriku.
Ia berdiri di satu bukit yang menjulang tinggi. Tangannya terentang ke
atas. Ia seolah menggenggam satu bintang paling terang untukku. Ia,
pemuda berkacamata, menggenggam erat tanganku. Kemudian menarikku ke
bukit itu. Mengajakku menggapai bintang-bintang di angkasa.
Pemandangan dari bukit sangat indah. Lampu-lampu jalan, lampu-lampu
rumah, dan lampu-lampu kendaraan terlihat seperti titik-titik cahaya
yang tersusun beraturan di gelap malam. Sementara, jutaan bintang di
langit berusaha lebih menarik perhatianku. Saat aku menengadah ke
mereka, bintang-bintang itu seolah tersenyum padaku dengan kedipannya.
Tapi, ada yang lebih menarik perhatianku lagi. Lebih dari jutaan bintang
yang indah. Ia, pemuda berkacamata di sampingku. Wajahnya lebih cerah
dari biasanya karena terpantul sinar bulan. Alis matanya tebal.
Hidungnya mencuat ke depan. Dan yang paling indah adalah bola mata hitam
kecokelatannya yang terbingkai kacamata. Bola mata hitam kecokelatannya
yang berbinar tajam namun lembut.
“Maaf,” nada suara bass-nya mengutarakan penyesalan. Matanya memandang
mataku dan aku menangkap ada ekspresi bersalah di dalamnya.
“Jangan sekarang,” kataku. “Jangan merusak malamku denganmu bersama
bintang-bintang ini,” tambahku sambil tersenyum pada bintang-bintang di
angkasa.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Udara malam yang sejuk segera memasuki
ruang paru-paruku. Udara malam dengan wangi rumput dan air. Wangi alam
favoritku setelah wangi hujan.
Aku menengadah. Tanganku terarah pada langit bertabur bintang. Jari
telunjukku melukis wajahnya pada langit di atas sana. Imajinasiku hanya
terpaut pada wajah seseorang yang sedang di sampingku kini. Indah.
Wajahnya lebih indah dari bintang-bintang. Dan aku tersenyum setelah
selesai melukisnya.
Aku berpaling dari imajinasi lukisanku ke wajahnya. Wajah cerah
sempurna. Memandangi bola matanya, alis tebal, dan bibirnya yang
melengkung manis. Sempurna. Hingga aku merasa bersyukur pada Tuhan
karena menciptakan manusia seindah dirinya.
“Selamat ulang tahun, gadisku!” bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata
itu. Tangannya menyerahkan kotak hadiah berwarna hijau tua. Dan tanganku
menerimanya.
“Terimakasih!” Aku tersenyum lebar. Kalung berbandul bintang kecil
dengan taburan kerlap-kerlip berwarna perak di permukaan bandul
bintangnya, tergeletak manis di dalam kotak. Ia mengambilnya kemudian
memakaikannya di leherku. “Sangat indah!” kataku. Tangan kiriku memegang
bandul bintang kecil itu.
“Maaf. Aku sangat minta maaf karena tidak menepati janji kemarin,”
katanya. Nada suaranya sangat menyesal. “Aku terpaksa harus membantu
temanku. Ibunya masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku terpaksa
mengantarnya ke rumah sakit,” jelasnya.
“Oh ….” responku. Selanjutnya, malam berbintang yang awalnya indah
menjadi agak pudar di dalam hatiku. Sementara, ia hanya diam saja
memandangi bintang-bintang yang genit berkedap-kedip padanya.
Aku memain-mainkan kotak hadiah hijau tua di rumput-rumput samping
tempatku duduk. Dan ada yang menarik perhatianku. Sebuah amplop merah
muda tergeletak di samping tas selempang hitamnya. Sepertinya, amplop
itu jatuh saat ia mengambil kotak hadiah hijau tua dari tasnya. Aku
mengambil amplop itu diam-diam. Kemudian, tiba-tiba hatiku mulai panas.
Mataku mulai berkaca-kaca setelah membaca tulisan di amplop itu.
Dari : Wella
Untuk : Kara
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Aku tak punya nyali …
Namun, kali ini aku bernyali tinggi
Tinggi, setinggi anganku bersamamu
Sedalam cintaku padamu.
Dari : Wella
Untuk : Kara
Sudah sepuluh kali aku membaca tulisan itu. Tulisan di dalam amplop
merah muda yang ku temukan di samping tas Kara. Berkali-kali aku membaca
kata-kata cinta itu, berkali-kali juga hatiku terasa panas. Seperti ada
beban yang menyesakkan hatiku.
Mataku mulai panas, hingga tak sanggup untuk tidak berkaca-kaca. Aku
mengayunkan ayunanku tinggi-tinggi. Aku berharap angin dapat meredakan
panas hatiku dan air mataku yang sudah menggenang tidak tumpah. Semakin
tinggi aku mengayun, semakin bertambah air mataku. Hingga genangan air
yang berkaca-kaca itu tumpah dan tak sanggup ku tahan mengaliri pipi
kanan- kiriku.
Telpon genggam di saku jeans-ku bergetar. Aku menghentikan ayunanku dan
mengambil telpon genggamku. Di layar monitornya tertulis ‘Kara
memanggil’, namun aku memasukkan lagi telpon genggamku ke saku jeans.
Aku membiarkan telpon genggamku meraung-raung dengan getarannya di
celana jeans-ku.
“Bukankah sudah ku katakan berbahaya jika sendirian di taman sepi
seperti ini?” suara yang lembut itu terdengar. Suaranya bersumber dari
seseorang di sampingku.
“Miko!” kataku. Pemuda berambut sebahu itu duduk di ayunan hijau.
Wajahnya terlihat cerah dan rambut di sisi-sisi wajahnya melambai-lambai
tertiup angin sore. Wajahnya berubah khawatir setelah tahu air mata
membanjiri pipiku.
“Kenapa menangis?” tanyanya. Suaranya sangat prihatin.
Aku hanya diam saja. Merenung sendiri. Mataku hanya menatap sebuah
tulisan yang tergeletak di rumput-rumput di bawah ayunanku. Mulutku
sulit bergerak. Dan lidahku terasa kelu untuk berkata.
Pemuda berambut panjang sebahu itu menarik titik pandanganku. Ia
menemukan apa yang ku pandangi. Ia mengambilnya, kemudian membacanya. Ia
menarik nafas setelah membacanya. Dan ia hanya diam sejenak, tak
berkata-kata.
“Kau tak berpikir, kekasihmu akan mengkhianatimu, kan?” tanyanya.
Matanya memandang dalam ke arah mataku. Aku bisa melihat, ternyata bulu
matanya lentik dan bola matanya berwarna cokelat muda.
Aku hanya menggeleng. Kata ‘mengkhianati’ itu sungguh membuatku tak berdaya. Air mataku merembes dari ekor mataku.
“Aku yakin kekasihmu bukan tipe orang seperti itu. Jadi, mintalah
penjelasannya terlebih dulu,” katanya. Pandangannya masih mengarah
padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya isakan yang terputus-putus
yang bisa aku suarakan. Air mataku masih merembes keluar. “Jangan
menangis lagi!” ia berkata lembut. Jari-jari tangannya menghampiri
pipiku. Dan ibu jari kanannya menghapus titik air di ekor mataku.
“Jadi, ini alasan mengapa kamu tak menjawab telepon dariku, Karli?”
suara bass namun lembut itu mengagetkanku. Raut wajahnya kecewa. Dan
matanya mengekspresikan kesedihan. Miko menarik jari-jarinya dari
mataku, kemudian ia bangkit dari ayunannya. Ia berdiri berhadapan dengan
pemuda berkacamata.
Kara dan Miko saling berhadapan. Mata mereka saling bertabrakkan. Bola
mata hitam kecokelatan Kara menghunus tajam mata Miko. Mereka diam.
Tidak saling bicara, namun ekspresi wajah mereka berbicara satu sama
lain.
“Karli memang milikmu. Tapi, tak akan ku biarkan kau membuatnya
menangis!” Miko berkata. Nada suaranya tegas. Lalu, tangannya
menyerahkan tulisan beramplop merah muda itu pada Kara.
Wajah Kara tampak keheranan memandangi amplop merah muda itu. Ia tampak
seperti belum pernah melihat amplop merah muda itu sebelumnya. “Apa
maksudnya ini?” ia bertanya heran setelah membaca tulisan itu. “Karli,
aku benar-benar tidak mengerti,” katanya.
“Jangan pura-pura tidak mengerti!” aku berkata. “Itu alasan kamu mengapa
tak datang kemarin ke taman ini, kan?” aku bertanya. Air mataku
merembes lagi. “Kamu pergi dengan gadis itu sementara aku menunggumu
disini selama tiga jam!” air mataku semakin deras.
“Karli, dengarkan penjelasanku dulu,” pinta Kara.
“Semuanya sudah jelas. Aku mau pulang!” Kakiku melangkah ke jalan setapak. Sementara, air mataku tak berhenti mengalir.
“Karli!” panggil suara lembut pemuda berambut panjang sebahu itu.
“Jangan ada yang mengikutiku!” aku berkata, menoleh pada keduanya. Lalu,
aku berjalan mantap walau hati sangat kacau, meninggalkan keduanya yang
hanya mampu memandangi kepergianku dari taman yang sepi ini.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Udara malam sangat dingin kali ini. Langit tidak secerah kemarin.
Bintang-bintang bersembunyi di balik awan-awan hitam. Mereka tampaknya
tak ingin menyaksikanku termenung sedih. Dan udara dingin yang
menggerogoti kulitku semakin membuatku merinding sedih. Tak ada satupun
cahaya di langit. Bulanpun tak mau menampakkan dirinya. Mungkin ia
diajak para bintang bersembunyi di balik awan. Mereka mungkin kecewa
karena aku sedang bersedih malam ini.
Telepon genggamku tak henti-hentinya meraung dari setengah jam tadi. Aku
tidak mempedulikannya. Lalu beberapa kemudian setelah getaran telepon
genggamku mereda, ada sebuah pesan masuk di layar monitornya.
Aku tunggu kamu di Bukit Bintang.
Kara.
Suara ketukan pintu kamar mengagetkanku. “Karli, ada temanmu di luar
sana,” suara lembut ibu mengalun melewati celah-celah pintu. Aku
langsung mengusap wajahku, kemudian bangkit dari dudukku di samping
jendela menuju teras rumah.
Pemuda dengan rambut sebahunya itu berdiri di depan pintu. Wajahnya
masih terlihat cerah. Ia memakai mantel tebal berwarna merah marun. Dan
di rambut panjangnya terdapat titik-titik air. Malam telah hujan
rupanya.
“Maaf. Tapi aku sama sekali tak ingin diganggu!” aku berkata mengalihkan matanya yang berbinar teduh.
“Aku juga minta maaf karena terpaksa harus mengganggumu, Karli!” ia
menarikku ke teras rumah. Di teras itu, aku menemukan gadis berambut
panjang selengan dengan poni rata menutupi dahinya. Raut wajahnya nampak
bersalah dan ada ketakutan dari bola matanya.
“Ma-maafkan saya, Ka!” katanya. Nada suaranya bergetar. Wajahnya
langsung menunduk. “Saya Wella,” ia berkata. Mendengar nama itu, hatiku
tersentak bukan main. Ada sesuatu yang menyesakkan hatiku. “Kemarin lusa
memang benar saya meminta bantuan Kak Kara untuk mengantar saya ke
rumah sakit karena ibu saya kecelakaan,” jelasnya. Wajahnya masih
ketakutan. “Dan soal amplop merah muda itu,” ia berhenti. Ia sejenak
mengambil nafas. “Saya menaruhnya diam-diam di tas Kak Kara,” lanjutnya.
“Maaf, saya tidak tahu kalau Kak Kara sudah punya kekasih,” tambahnya.
Gadis berponi rata itu hanya mengangguk. “Saya sangat menyesal. Saya
minta maaf!” katanya sambil menunduk padaku.
Pandanganku hanya tertuju pada hujan yang kini semakin deras di luar
sana. Kara menungguku di bukit bintang. Bukit di malam penuh bintang
waktu itu. Apakah ia masih menungguku disana hujan deras begini? Aku
melangkahkan kakiku menuju gerbang rumah. Namun, tangan pemuda berambut
panjang itu menahan bahuku. Raut wajahnya melarangku untuk pergi.
“Kara menungguku,” aku berkata. “Aku tidak bisa membiarkannya menunggu
di tengah hujan deras begini.” Aku menghempaskan tangannya dari bahuku.
Kemudian aku langsung menghantam hujan.
Titik-titik air dengan kasar menerpa kepalaku. Air hujan menyerap ke
dalam pakaianku. Rambut ikalku basah. Dan angin yang berhembus cukup
kencang membuatku harus menahan dingin. Aku tidak peduli dengan itu
semua. Aku hanya memaksa kakiku untuk berlari dan terus berlari menuju
bukit bintang yang tak seberapa jauh dari rumahku.
Rasa bersalah segera mengoyak hatiku selama di perjalanan. Guntur pun
bersahut-sahutan seakan meng-iya-kan kalau aku sungguh telah berbuat
salah. Namun, aku berusaha mengalihkan semuanya dan hanya memaksakan
kakiku untuk berlari menaiki bukit-bukit kecil. Aku hampir sampai di
bukit yang cukup menjulang tinggi.
Dan disanalah ia. Pemuda berkacamata berdiri tegap di bukit yang cukup
menjulang tinggi. Ia berdiri tegar walau hujan menghantam wajahnya,
walau hujan membasahi kacamata dan pakaiannya.
“Karli,” sapanya. Bibirnya bergetar. Kedinginan. Namun, bibirnya
melengkung membentuk senyuman yang indah. Aku langsung berlari dan
memeluk tubuhnya. Tubuhnya dingin dan bergetar.
“Aku ingin jelaskan padamu kalau …”
“Tak perlu ada penjelasan lagi,” aku memotong kalimatnya. Lengan
tanganku melingkari erat pinggangnya. “Aku yang harus minta maaf,”
kataku. Air mataku bercampur dengan titik-titik air yang masih jatuh
dari langit. “Aku minta maaf membuatmu begini,” tambahku. Kara memeluk
tubuhku lebih erat lagi hingga aku nyaris tak bisa bernafas. Kemudian ia
meregangkan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh pipiku yang basah.
Dan bibirnya yang dingin menyentuh keningku.
Sesaat ketika aku membuka mata. Aku menemukan pemuda berambut panjang
sebahu berdiri di tanjakan bukit. Rambut panjang, dan wajahnya basah.
Raut wajahnya terlihat kecewa. Ia menunduk lesu. Dan ia memandangku
dengan seulas senyum tipis di bibirnya sesaat sebelum ia berbalik dan
berjalan meninggalkan ku dan pemuda berkacamata yang memelukku di tengah
hujan.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Aku terduduk di ayunan berwana hijau. Mengayunnya perlahan-lahan sambil
mengamati dua kotak yang ada di kedua tanganku. Di tangan kiri, kotak
berwarna merah marun. Dan di tangan kanan, kotak berwarna hijau tua.
Kotak-kotak hadiah pemberian dua pemuda itu. Kotak-kotak hadiah dengan
dua warna yang ku suka. Hijau tua dan merah marun.
Di pergelangan tangan kiriku terlingkar sebuah gelang dengan
bandul-bandul kecil berbentuk hati berwarna perak. Dan sebuah kalung
dengan bandul bintang kecil bertabur kerlap-kerlip perak melingkari
leherku. Aku tidak boleh memakai dua-duanya. Aku harus memilih salah
satunya.
“Ini ketiga kalinya aku memperingatkan sangat berbahaya sendirian di
taman sepi seperti ini.” Sebuah suara yang lembut terdengar. Rambut
panjang pemuda itu dikuncir setengah. Rambut bagian bawahnya dibiarkan
tergerai indah.
Aku hanya diam saja. Tak ku gubris pernyataannya itu. Pandanganku hanya
tertuju pada dua kotak yang ada di tanganku. Sulit sekali di keadaan
seperti ini. Memilih salah satunya akan menyebabkan yang lainnya
tersakiti.
“Manusia memang serakah, bukan?” tanyaku. Pandanganku masih tertuju pada dua kotak itu.
“Manusia tak boleh serakah. Itulah mengapa Tuhan menciptakan hati, agar
manusia bisa memilih sesuai kata hatinya.” Pemuda berambut panjang itu
berkata bijak. Pandangannya lurus menyelami kolam ikan di samping ayunan
merah.
Entah mengapa setiap kata yang diucapkannya membuatku segera tersadar
dari kebimbangan. Ia seperti udara sejuk yang menentramkan hati dikala
ku sedang gundah. Begitulah ia, pemuda berambut panjang sebahu.
“Aku akan mundur!” suara lembutnya terdengar lantang dan meyakinkan.
Wajahnya menunduk. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak selagi
matanya memandang rerumputan hijau di bawah ayunannya. Perkataannya itu
membuatku menoleh padanya. Aku tidak mengerti maksudnya, tetapi
perkataannya itu membuatku sedih.
“Aku tidak akan mengganggumu lagi,” katanya. Matanya yang teduh memandang bola mataku.
Tiba-tiba saja bayangan pemuda berkacamata muncul di benakku. Bola mata
hitam kecokelatan yang indah. Bola mata yang sangat aku sukai. Wajah
cerahnya. Hidung dan kacamatanya. Entah mengapa, aku ingin pemuda
berkacamata itu ada di sini sekarang.
“Baiklah,” jawabku. Sejenak aku harus mengambil nafas. “Aku toh tidak
bisa memberimu apa-apa.” Pandanganku menyapu pohon-pohon kecil di tepi
jalan. “Jangan pernah berharap lagi padaku,” tambahku.
Ia mengangguk. Anggukannya dalam sekali dan lemah. Kemudian ia bangkit
dari ayunan hijau. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di samping
taman. Aku merekam dalam-dalam sosoknya yang pergi meninggalkanku.
Setiap langkah kakinya dihentakkan. Setiap langkah seperti tertarik
gravitasi bumi begitu kuat. Langkahnya yang khas itu membuat sisa rambut
panjang bawahnya menari-nari mengikuti irama langkahnya.
Pasti akan ada ‘Matahari’ yang lebih baik untukmu!
Terimakasih, Miko!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar